Kamu Apa Kabar?
26 Agustus 2021.
Detik ke detik, menit ke menit hingga jam ke jam. Semua berlalu begitu saja tanpa ada kesan maupun pesan. Usia bertambah, namun lingkup pertemanan malah semakin berkurang. Dipaksa menjadi dewasa oleh keadaan sendiri. Mau tidak mau, bisa tidak bisa. Semua harus dilakukan. Menyerah bukan jawaban, berjuang sebuah keharusan.
Kehidupan orang dewasa ternyata tidak semudah yang terlihat di film-film. Kerja di perusahaan bergengsi, hidup di apartemen mewah, punya pasangan yang mapan dan tampan, ditambah lagi faktor good-looking menjadi suatu unsur penting. Boro-boro. Apalagi di masa pandemi begini, cari kerja juga susahnya luar biasa.
Dibantai habis-habisan oleh rasa kesepian dan kesendirian. Disiksa tanpa pandang bulu oleh rasa ketakutan. Sebenarnya kuncinya memang cuma satu, bersyukur. Kalau saja bersyukur (apalagi diiringi dengan rasa ikhlas) itu bisa dilakukan dengan mudahnya, hidup akan terasa lebih nikmat untuk dijalani. Tapi apa daya, manusia memang tidak ada puasnya. Selalu saja merasa kurang, apalagi melihat pencapaian orang lain selalu merasa tak enak hati. Padahal jalan, timeline dan takdir setiap jiwa digariskan berebeda-beda. Kenapa kita selalu menyamakan standar orang-orang dengan standar kita ya?
Pernah sampai di titik, tidak tau tujuan hidup mau di bawa ke mana, apakah yang dijalani saat ini adalah apa yang diinginkan, kehilangan motivasi, hidup dengan prinsip 'jalani-aja-hari-ini' dan lain-lain. Lagu 22 oleh Taylor Swift menggambarkan kehidupan di usia tersebut menyenangkan. Sampai-sampai pernah kepikiran ingin segera berada di usia tersebut. Tapi setelah dijalani, ternyata. Ah. Taylor Swift terlalu meromantisasi usia ini. Kalau dipikir-pikir, penting juga sebenarnya jadi jiwa yang mati rasa dan apatis (bukan sepenuhnya). Tak perduli dengan standar orang-orang karena hidup ini, susah sedihnya kita jalani masing-masing.
Di usia yang sama, ada teman yang sudah S2, ada yang sudah menikah, ada yang sudah punyak anak, ada yang sudah jadi pengusaha muda, ada yang sudah stabil keuangannya, ada yang sudah bekerja di BUMN, ada yang sudah menabung untuk modal pernikahannya, ada yang sudah menjadi content creator. Ada juga yang masih berjuang buat mendapat gelar sarjana, ada yang masih mencari pekerjaan sana-sini, ada yang masih tidak melakukan apa-apa setelah wisuda, ada yang ingin rehat sejenak, ada yang hanya scroll sosial media seharian. Ada yang, ada yang, yang memang tidak ada habisnya. Benar-benar kompleks. Dan, sebenarnya tak perlu dilakukan.
Tapi, inilah kita.
Inilah lingkup sosial kita.
Pentingnya sosok-sosok sefrekuensi dengan kita memang benar-benar penting. Entah itu pasangan, sahabat, saudara atau bahkan orang tua. Tapi, ya bagaimana. Semua orang punya hidupnya masing-masing. Semua orang punya life goals yang ingin diwujudkannya. Orang tidak hidup untuk kita, melainkan hidup untuk diri mereka sendiri-sendiri (tidak semua).
Sesulit apapun masalah orang dewasa yang akan kia hadapi, ketika Tuhan sudah menetapkan hal tersebut menjadi takdir kita, percayalah sebesar apapun masalahnya, kita akan bisa melaluinya. Belajar terus sambil mengkoreksi dan mengembangkan diri menjadi yang terbaik versi diri sendiri.
Mencari jati diri memang tidak mudah. Melihat ada orang dengan pribadi A, ada rasa ingin menjadi demikian. Lima menit kemudian, melihat orang lain dengan pribadi B, malah ingin juga menjadi seperti dia. Mengapa demikian? Karena standar yang kita pakai adalah standa orang-orang, bukan standar yang kita buat sendiri. Lucu bukan?
Jati diri yang sebenarnya adalah seberapa nyaman kita dengan diri kita. Jangan pernah menjadi orang lain agar terlihat keren, edgy dan kekinian. Karena sifatnya hanya sementara. Ketika kita sudah ada di titik tidak jenuh tersebut, yang ada kita malah rancu kehilangan arah. "Habis ini mau gimana lagi?" Pertanyaan-pertanyaan sejenis ini yang akan muncul di benak kita apabila kita terus-terusan memakai topeng palsu.
Meski hidup tidak mudah. Meski hidup seringnya tidak memihak dengan kita. Meski hidup tak pernah bosan menguji kesabaran. Meski hidup selalu kontras dengan ekspektasi. Tapi ingat satu hal. Kita kuat. Kita tegar. Kita adalah jiwa-jiwa yang dipilih Tuhan untuk bisa bertahan menjalani kehidupan. Apapun yang terjadi, libatkanlah Tuhan. Karena banyak sekali kuasa Tuhan yang telah membuat kita berada di titik ini sampai saat ini, meski kita tak menyadarinya.
Semangat ya, kamu.
Semangat ya, kita.
Semangat ya, kalian.
Semoga seluruh keringat yang sudah tercucur akan tergantikan dengan lebih dari apa yang kita harapkan.
Aaamiin.
Meski hidup tidak mudah. Meski hidup seringnya tidak memihak dengan kita. Meski hidup tak pernah bosan menguji kesabaran. Meski hidup selalu kontras dengan ekspektasi. Tapi ingat satu hal. Kita kuat. Kita tegar. Kita adalah jiwa-jiwa yang dipilih Tuhan untuk bisa bertahan menjalani kehidupan. Apapun yang terjadi, libatkanlah Tuhan. Karena banyak sekali kuasa Tuhan yang telah membuat kita berada di titik ini sampai saat ini, meski kita tak menyadarinya.
Semangat ya, kamu.
Semangat ya, kita.
Semangat ya, kalian.
Semoga seluruh keringat yang sudah tercucur akan tergantikan dengan lebih dari apa yang kita harapkan.
Aaamiin.
Komentar
Posting Komentar